Selasa, 19 Desember 2017

Daendels dan Sistem Kerja Paksa



Herman Willem Daendels

Gambar terkait
Daendels mengawasi pekerja paksa
 

Daendels adalah seorang yang tegas dengan segala pembaharuan – pembaharuan yang digagasnya guna mempertahankan pulau Jawa dari Inggris. Herman Willem Daendels adalah perintis infrastruktur yang sangat luarbiasa dampaknya bagi kemajuan ekonomi di Jawa, yakni pembuatan Grote Postweg (Jalan Raya Pos) atau populer disebut Jalan Daendels.


            Banyak kemajuan, tentunya bagi pihak kolonial yang dicapai melalui berbagai ide – ide Daendels. Daendels membangun jalan yang membelah sepanjang Pulau Jawa ini terutama untuk tujuan strategi dan kepentingan militer: mobilisasi pasukan dengan cepat. [1]
 
            Pada awalnya, setiap 4,5 kilometer jalan ini didirikan pos penjagaan sebagai tempat perhentian dan penghubung pengiriman surat-surat. Tujuan pembangunan Jalan Raya Pos adalah memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels di sepanjang Pulau Jawa dan sebagai benteng pertahanan di Pantai Utara Pulau Jawa. Karena itulah jalan ini pada awalnya disebut De Grote Postweg atau Jalan Raya Pos dari Anyer ke Panarukan. [2]

Daendels berpikir untuk membuat sebuah jalan baru antara Anyer dan Panarukan. Jalan – jalan yang sudah ada sebelumnya dipandang kurang tepat. Daendels hendak membangun jalur ganda yang dapat dilalui dari sisi barat hingga ke timur. Satu jalur untuk kuda dan kereta, lainnya untuk gerobak dan ternak. Jalan baru itu akan sangat berguna untuk mempercepat gerak pasukan, perjalanan, pengangkutan hasil bumi, serta menghubungkan tempat-tempat penting di Jawa Barat dan Jawa Timur.[3]
 
Di bawah pemerintahan Deandels yang tak terbantahkan, pekerjaan berat ini dapat selesai dalam waktu satu tahun. Selain itu Deandels mencanangkan biaya yang sangat sedikit dalam proyek ini. Sehingga ia berpikir bahwa dengan mengerahkan banyak tenaga kerja dari pribumi akan semakin menimalisir khas Belanda. 

Kejamnya, ia tidak hanya memperjakan para petani, tetapi juga wanita, anak – anak dan orang tua. Sadisnya, priyayi atau penguasa pribumi yang gagal mengerjakan proyek tersebut,termasuk para pekerjanya, dibunuh. Tak hanya itu, kepala mereka lalu digantung di pohon-pohon kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jenderal Daendels memang menakutkan, dia kejam, sadis dan tak kenal ampun. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan, korban meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meninggal tanpa dikuburkan secara layak.[4]

Dalam penyelesaian proyek ini, terdapat daerah-daerah yang sangat sukar, misalnya jalan pos dari Bogor melalui Pariangan terus ke Cirebon. Begitu pula daerah-daerah pantai utara Jawa Tengah yang berawa-rawa. Untuk menghindari jalan-jalan yang terjal di buatlah ratusan kelokan dan tanjakan bila melewati pegunungan. Deandels sendiri sering datang memeriksa pekerjaan, agar cepat selesai. Bila di dapatinya ada pekerja yang lamban, ia akan membentaknya dengan sangat keras dan menggelegar. Sehingga ia di beri julukan Tuwan Besar Guntur. Banyak orang tewas dalam proyek pembuatan jalan sepanjang 1000 km ini, namun ketika jalan ini selesai tahun 1809, tidak di pungkiri lagi bahwa manfaatnya sangat terasa.[5]
 
Adapun kebijakan Daendels lainnya ialah:
·       
1.        Kerja tanpa dibayar hanya boleh dilakukan terhadap gubermen Belanda, tidak kepada bupati dan pegawai pemerintah lainnya.
2.      Uang untuk hasil bumi, tidak boleh lagi melalui perantara. Harus langsung dibayarkan kepada petani.
3.      Tidak boleh lagi ada komisi dari leveransir barang-barang gubermen. Tidak diperbolehkan juga mendapat keuntungan dari kerja sambilan pegawai gubermen atau mendapat pemasukan selain gaji.
4.      Daendels member mereka gaji yang lebih baik, tetapi melarang mereka menerima hadiah dari bupati atau rakyat.
5.      Dibuat sebuah badan yang dinamakan Biro Pembukuan. Badan ini menghitung dan memeriksa kembali pembukuan setiap residen.
6.      Setiap inspeksi kedaerah tidak perlu disambut dengan meriah. Cukup dengan pembukuan masing-masing daerah.
7.      Serdadu yang ketahuan mencuri, akan dihantam peluru sebagai hukumannya.
8.      Lima pegawai yang menggelapkan uang gubermen langsung dihukum gantung.
9.      Seorang kapten yang memberikan makanan yang tidak sesuai ketentuan kepada prajuritnya, diturunkan pangkatnya menjadi prajurit biasa.
10.   Seorang komisaris polisi yang ketahuan menerima suap, langsung dikeluarkan dari kepolisian.
11.     Seorang residen yang ketahuan menerima hadiah sesaku uang emas, langsung masuk penjara.
12.    Orang-orang Cina kaya yang mengambil bunga tinggi dari penduduk miskin, langsung digantung didepan pintu rumahnya.
13.    Seorang jendral yang tidak disenangi, dikirim pulang ke Holland.
14.   Gubernur Engelhard yang menurut Daendels memiliki pendapatan lebih besar daripada seharusnya, dipecat.


DAFTAR PUSTAKA
Suyono, Capt. R. P. 2003. Peperangan Kerajaan Di Nusantara (Penelusuran Kepustakaan Sejarah). Jakarta: Grasindo.


[3] Suyono. 2003. Peperangan Kerajaan Di Nusantara (Penelusuran Kepustakaan Sejarah). Hlm:118
[4] Merdeka.com
[5] Suyono, op.cit, hlm.120

1 komentar:

tambahkan komentar

Awal kedatangan Etnis Tionghoa di Malaysia

Malaysia yang dulunya bernama Malaya, merdeka pada tanggal 31 Agustus 1957, setelah sebelumnya dikuasai Inggris. Di Malaysia sendiri hidup...