Media Politik Legitimasi Pemimpin Jawa
Indonesia
adalah sebuah negara yang terdiri dari beberapa etnis dan kebudayaan. Berbicara
mengenai kebudayaan, tentu saja tidak dapat dipisahkan dari sebuah hubungan
komunal dan sistem serta pola-pola yang berlaku pada masyarakat. Kebudayaan
berasal dari kata budh dalam bahasa Sansekerta yang berarti akal,
kemudian menjadi budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga
kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Hal ini juga
didukung oleh pendapat Koentjaraningrat yang mengidentifikasikan kebudayaan
sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan
belajar[1]
serta keseluruhan dari hasil budi pekerti.
Kebudayaan
ini meninggalkan berbagai jejak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
sehari-hari masyarakat Indonesia, termasuk kehidupan berpolitik. Meskipun telah
memasuki era yang dikenal sebagai era global atau era modern, kehidupan
berpolitik para elit pemimpin tidak terlepas dari mitos, yang merupakan sebuah
tradisi folklore sejak dahulu.
Dalam kehidupan politik, mitos digunakan sebagai sarana pendukung untuk melegitimasi kekuasaan.[2]
Dalam kehidupan politik, mitos digunakan sebagai sarana pendukung untuk melegitimasi kekuasaan.[2]
Berawal
dari tradisi Hindu-Budha, mitos tidak dapat dipisahkan dari seseorang yang
ingin mendapatkan kekuasaan. Politik tidak pernah terlepas dari mitos. Bahkan
dalam dunia pencitraan, mitos seakan mampu menjadi senjata ampuh dalam menarik
simpatisan atau yang biasa dikenal dengan ‘the
power of myth’.[3] Mitos berawal dari penciptaan simbol
yang lantas mengalami sakralisasi. Sakralitas sebuah simbol yang dibumbui
dengan doktrin membentuk penyederhanaan suatu ideologi. Simbol, mitos, doktrin
dan ideologi adalah piranti wajib dalam politik, baik politik personal maupun
kelompok.[4]
![]() |
Nyi Roro Kidul yang identik dengan kekuatan magis pemimpin Jawa |
Pada pemimpin Jawa, pola legitimasi
melalui mitos nampak dari penggambaran bahwa sang tokoh memiliki keturunan
secara genealogis atau merupakan perwujudan dari tokoh-tokh besar yang memiliki
pengaruh besar terhadap masyarakat tersebut. Misalnya, Ken Arok sebelum menjadi
raja besar di Singasari dan tidak memiliki keturunan genealogis dari bangsawan
menyatakan bahwa dirinya adalah putra dewa Surya. Hal ini juga nampak pada
pemimpin jawa di era modern ini yang selalu mengunggulkan “hal besar” yang
tidak dimilikinya untuk memperoleh kekuasaan, sebut saja salah seorang calon
walikota di sebuah kota yang menyatakan dirinya memiliki adalah keturunan raja
Brawijaya.
Pola legitimasi para tokoh melalui
mitos ini dituangkan melalui personifikasi yang didukung oleh media. Dalam
logika demokrasi langsung, personifikasi tokoh seolah-olah menjadi suatu
keharusan sehingga hal ini dapat mengakibatkan pelembagaan politik terabaikan.[5]
Berdasarkan latar belakang diatas,
peranan mitos sebagai media legitimasi sangat menarik untuk dikaji mengingat
tradisi mitos sudah dikenal sejak periode Hindu-Budha dan nyatanya tradisi ini
dan pengaruhnya dalam kekuasaan masih terpelihara dengan subur hingga sekarang.
[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta:
Gramedia, 2000), hlm.2
[2] Arwan Tuti Artha, Langkah Raja Jawa Menuju Istana: Laku
Spiritual Sultan (Yogyakarta: Galang Press Group, 2009), hlm.13
[3] M. Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Potitik (Jakarta:
Gramedia, 2009), hlm. 261
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm.263
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tambahkan komentar