Minggu, 11 Maret 2018

Mitos Dan Kekuasaan



Media Politik Legitimasi Pemimpin Jawa
Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari beberapa etnis dan kebudayaan. Berbicara mengenai kebudayaan, tentu saja tidak dapat dipisahkan dari sebuah hubungan komunal dan sistem serta pola-pola yang berlaku pada masyarakat. Kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa Sansekerta yang berarti akal, kemudian menjadi budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Hal ini juga didukung oleh pendapat Koentjaraningrat yang mengidentifikasikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar[1] serta keseluruhan dari hasil budi pekerti.
Kebudayaan ini meninggalkan berbagai jejak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, termasuk kehidupan berpolitik. Meskipun telah memasuki era yang dikenal sebagai era global atau era modern, kehidupan berpolitik para elit pemimpin tidak terlepas dari mitos, yang merupakan sebuah tradisi folklore sejak dahulu.
Dalam kehidupan politik, mitos digunakan sebagai sarana pendukung untuk melegitimasi kekuasaan.[2]
Berawal dari tradisi Hindu-Budha, mitos tidak dapat dipisahkan dari seseorang yang ingin mendapatkan kekuasaan. Politik tidak pernah terlepas dari mitos. Bahkan dalam dunia pencitraan, mitos seakan mampu menjadi senjata ampuh dalam menarik simpatisan atau yang biasa dikenal dengan ‘the power of myth’.[3] Mitos berawal dari penciptaan simbol yang lantas mengalami sakralisasi. Sakralitas sebuah simbol yang dibumbui dengan doktrin membentuk penyederhanaan suatu ideologi. Simbol, mitos, doktrin dan ideologi adalah piranti wajib dalam politik, baik politik personal maupun kelompok.[4]
Hasil gambar untuk mitos dan kekuasaan
Nyi Roro Kidul yang identik dengan kekuatan magis pemimpin Jawa
 Pada pemimpin Jawa, pola legitimasi melalui mitos nampak dari penggambaran bahwa sang tokoh memiliki keturunan secara genealogis atau merupakan perwujudan dari tokoh-tokh besar yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat tersebut. Misalnya, Ken Arok sebelum menjadi raja besar di Singasari dan tidak memiliki keturunan genealogis dari bangsawan menyatakan bahwa dirinya adalah putra dewa Surya. Hal ini juga nampak pada pemimpin jawa di era modern ini yang selalu mengunggulkan “hal besar” yang tidak dimilikinya untuk memperoleh kekuasaan, sebut saja salah seorang calon walikota di sebuah kota yang menyatakan dirinya memiliki adalah keturunan raja Brawijaya.
            Pola legitimasi para tokoh melalui mitos ini dituangkan melalui personifikasi yang didukung oleh media. Dalam logika demokrasi langsung, personifikasi tokoh seolah-olah menjadi suatu keharusan sehingga hal ini dapat mengakibatkan pelembagaan politik terabaikan.[5]
            Berdasarkan latar belakang diatas, peranan mitos sebagai media legitimasi sangat menarik untuk dikaji mengingat tradisi mitos sudah dikenal sejak periode Hindu-Budha dan nyatanya tradisi ini dan pengaruhnya dalam kekuasaan masih terpelihara dengan subur hingga sekarang.


[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm.2
[2] Arwan Tuti Artha, Langkah Raja Jawa Menuju Istana: Laku Spiritual Sultan (Yogyakarta: Galang Press Group, 2009), hlm.13
[3] M. Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Potitik (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 261
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm.263

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tambahkan komentar

Awal kedatangan Etnis Tionghoa di Malaysia

Malaysia yang dulunya bernama Malaya, merdeka pada tanggal 31 Agustus 1957, setelah sebelumnya dikuasai Inggris. Di Malaysia sendiri hidup...