Senin, 18 Desember 2017

Satu Bulan Sejak Bapak Pergi



Surabaya, 18 Desember 2017
Berkisah, Bersedih, Bahagia.

Hari ini, genap satu bulan Bapak meninggalkan kami. Figur seorang Bapak yang selalu aku banggakan. Entahlah, aku mesti mbrebes mili pas nulis apapun tentangnya. But I have to not to cry, like he said. And I’m promise to be stronger than before. Yap. Siapa yang menyangka aku bakal kehilangan lelaki yang paling ku cintai di penghujung 21 tahunku. 

Rasanya, masih terlalu banyak hal yang harus aku bagi dengan Bapak. Masih banyak cerita yang belum ku ceritakan pada Bapak. Masih terlalu banyak perjalanan yang ingin ku habiskan bersama Bapak.
Tentang betapa kuatnya Bapak melawan si pembunuh nomor satu, kanker.

Pripun kabare, pak?
Allah lebih sayang Bapak. Mengangkat sakitmu, dan menggantinya dengan surga.

Ya. Aku masih ingat. Hangat. Kenangan terakhir saat aku menyeka wajahmu dengan tissue basah terakhir. Bersih. Tak ada noda. Bercahaya.  
Minggu-minggu berat itu telah berlalu, pak. Tapi minggu-minggu setelah kepergianmu jauh lebih berat. Kami rela. Kami ikhlas. Meski berat.

Sabtu itu sangat syahdu. Seperti pesanmu sebelum kepergianmu, katamu ingin pergi keliling kota sekeluarga. Keinginanmu terpenuhi, pak. Kami sekeluarga mengiringimu, menggunakan ambulan dari Surabaya. Tubuhmu yang terbujur kaku, tak ku lepaskan dari genggamanku. 

Pak, maaf karena aku tak bisa menemanimu saat Bapak ingin mendengar cerita-ceritaku. Aku ingat benar tatapanmu saat Jumat malam itu. Tiba-tiba kondisimu sangat kritis. Tangis ibu pecah seketika. Aku mencoba menahan tubuhku. Menahan air mataku agar tak jatuh dan berusaha agar aku bisa tetap bercerita padamu. Kau mengangkat dua jempolmu dan tersenyum padaku saat tangisku pecah, 
 
“Pak, tunggulah aku suskses dulu. Bapak ga pengen ta ndelok aku mariki dadi wong sukses?, Bapak ga pengen ta mantu aku?, mariki aku dadi wong sukses, pak. Sampeyan bakal ndelok aku nang tivi sak mbendino, aku mariki bakal dadi wong gedhe pak”

Suaraku bergetar. Tangis kami pecah. Bapak hanya tersenyum, lalu bertanya padaku. “Wes subuh, nduk?. Bapak pengen sholat subuh”, katanya lirih. Sangat lirih. 

Bapak masih ingat kami semua. Selalu ingat Allah. Selalu ingat waktu sholat. Mungkin subuh itu adalah subuh terakhir Bapak. Sholat terakhir yang mampu dituntaskannya. 

Pak, sebulan setelah kepergianmu. Rasanya banyak sekali yang kosong. Sepi. Tak ada lagi alasanku untuk pulang lebih cepat di hari Sabtu, selain Ibu. Tak ada lagi lelaki yang selalu ku ceritakan pada teman-temanku. Tak ada lagi lelaki yang selalu menguatkanku. Tak ada lagi lelaki yang selalu menunggu cerita-ceritaku. Pak, I miss you

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tambahkan komentar

Awal kedatangan Etnis Tionghoa di Malaysia

Malaysia yang dulunya bernama Malaya, merdeka pada tanggal 31 Agustus 1957, setelah sebelumnya dikuasai Inggris. Di Malaysia sendiri hidup...