Selasa, 19 Mei 2015

Jin jadi Sumber Lisan

Analisis Historis “Serat Babad Kadhiri” dalam Perspektif Kultural
Oleh:
WIRETNO/ 121311433018
Ilmu Sejarah/ Universitas Airlangga

          Setiap daerah di Indonesia tentunya memiliki naskah babad yang menjadi sumber penulisan sejarah – sejarah lokal daerah tersebut. Naskah Babad adalah sebuah karya untuk menanamkan suatu jenis hasil karya sastra sejarah. Begitu pula dengan Naskah Babad Serat Babad Kadhiri. Naskah Babad mempunyai dua fungsi yaitu dilihat dari kacamata sastra, naskah babad dapat dimanfaatkan sebagai bacaan hiburan karena dalam penulisannya menggunankan susunan dan tatanan bahasa yang indah dan imajinasi pengarang yang mengalir indah. Disisi lain, naskah babad juga berfungsi sebagai karya sejarah yang dapat dijadikan sumber informasi dan edukasi.
            Serat Babad Kadhiri, naskah Babad yang ditulis oleh Mas Ngabehi Purbawijaya ini juga memiliki keunikan dalam penyusunannya. Pasalnya, tidak seperti naskah Babad lainnya yang menggunakan sumber tertulis dan sumber lisan yang berasal dari manusia, namun Serat Babad Kadhiri menggunakan jin sebagai sumber lisan. Jin menyusup pada tubuh manusia dan ditanya mengenai peristiwa – peristiwa yang terjadi di Kediri mulai masa kejayaan Jayabaya hingga era kolonial. Hal juga marak terjadi di era modern saat ini. Acara – acara televise yang mengungkap rahasia sejarah namun Ironisnya menggunakan jin sebagai sumber lisan.
            Berawal dari inisiatif Raden Mas Ngabehi Purbawijaya, Jaksa Tinggi Kediri yang pertama pada 1822, saat itu Kediri baru saja tergabung dalam Gupremen (provinsi). Gubernur menanyakan mengenai Babad Kediri pada Mas Ngabehi Purbawijaya. Guna memenuhi tugas dari sang Gubernur, Mas Ngabehi Purbawijaya memanggil Ki Dermakandha, seorang dalang yang sudah sangat tua tetapi masih fasih berbicara dan ingatannya masih tajam. Ki Dermakandha dianggap mengetahui sejarah – sejarah Kediri mengingat profesi beliau adalah pencerita.
            Faktanya, Ki Dermakandha hanya mengetahui kisah Kediri ketika masa kepemimpinan panji dan penerusnya. Namun, ia memiliki seorang teman yang sekiranya mampu membantu permasalahan Mas Ngabehi, Kyai Butalocaya namanya. Kyai Butalocaya adalah jin penguasa Kediri, dari gunung Kelut, Wilis dan bermarkas di Gunung Klothok. Singkatnya, dengan perantara tubuh Ki Sondong, rekan Ki Dharmakanda, sang jin mulai mengulas sejarah Kediri. Mulai dari awal mula Kediri dibawah kepemimpinan Jayabaya.
            Hal yang menarik disini adalah bagaimana sang Jin begitu dipercaya dalam penulisan Babad ini. Padahal dalam Serat Babad Kadhiri yang sumbernya berasal dari jin, sangat berbeda dengan informasi sejarah yang berkembang pada era modern ini. Misalnya, Jin Butalocaya mengaku awalnya adalah seorang manusia bernama Daha. Ialah orang pertama yang membabat Kediri hingga ia didatangi oleh Hyang Wisnu (dewa tertinggi pada kepercayaan Hindu) dan menceritakan padanya bahwa ia akan segera menjelma sebagai manusia. Daerah yang dibabat oleh ki Daha (Butolocaya) semakin ramai hingga akhirnya lahirlah seorang raja, yaitu Jayabaya yang merupakan perwujudan dari Wisnu dan memerintah di daerah ini. Karena jasa ki Daha, tempat dimana Jayabaya memerintah dinamakan Dahapura.
      Dalam Serat Babad Kadhiri, Butalocaya menyebut Jayabaya sebagai Haji Jayabaya, perwujudan Bathara Wisnu. Hal ini tentunya tidak masuk akal mengingat penyebutan “Haji” hanya digunakan pada orang penganut Islam, sementara Jayabaya dianggap sebagai perwujudan Wisnu, dewa Trimurti pada kepercayaan Hindu. Hal yang perlu dikritisi lainnya ialah, penyebutan Dhaha untuk pertamakalinya pada masa kepemimpinan Jayabaya, padahal nama Dhaha sudah ada sejak kepemimpinan Airlangga ketika membagi kerajaan Kahuripan. Proses pembagian kerajaan itu menjadikan Kahuripan menjadi Dua. Di Kahuripan bagian Utara berdiri kerajaan Jenggala yang dipimpin Lembu Amiluhung yang bergelar Sri Jayantaka, sedangkan di bagian Selatan berdiri Kerajaan Dhaha (Kediri) yang dipimpin Lembu Amisena yang bergelar Sri JayaWarsa. Peristiwa pembelahan ini dicatat oleh Mpu Prapanca dalam kitabnya Negarakertagama. Alasan pembagian kerajaan dilukiskan Oleh Mpu Prapanca sebagai “Demikian lah sejarah Jawa menurut tutur yang dipercaya. Kisah JenggalaNata di Kahuripan dan Sri Nata Kahuripan di Dhaha (Kediri). Waktu bumi Jawa di belah karena cintanya pada kedua putranya.
            Jin Butalocaya seakan mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada Kediri. Mulai dari perubahan nama Dahapura ke Kediri, kisah-kisah kecantikan putri Kediri dan kisah – kisah Jayabaya tentunya. Namun, Babad ini hanya menceritakan kisah kejayaan dan dinamika pemimpin – pemimpin atau prabu – prabu Kediri dan tidak ada kisah mengenai kehidupan sosial masyarakat didalamnya. Kisah – kisah yang diceritakan juga terputus – putus sehingga terkesan tidak kronologis dan tidak berfokus pada satu kisah saja, yaitu Kediri.
            Hal ini membuktikan bahwa, pada masa ini masyarakat Kediri masih sangat mempercayai hal – hal bersifat mistis. Karya ini terkesan menjadi penguat kekuasaan penguasa Kediri yang pernah ada dan member kesan bahwa penguasa Kediri dahulu sangatlah kuat. Namun, dibalik itu semua ada poin – poin penting lainnya, yaitu:
1.     Religiusitas à Dalam babad ini, banyak dijumpai tokoh – tokoh yang melakukan pemujaan pada dewa – dewa, sehingga pada masa ini ajaran Hindu sangat kuat dan mendominasi di Kediri.
2.     Semangat Bela Negara à disebutkan bahwa Kediri memenangkan pertempuran melawan pasukan prabu Klanasewandana padahal jumlah pasukan Kediri sangat sedikit. Pengorbanan dan semangat membela Kediri-lah yang menjadikan titik keberanian para prajurit Kediri untuk mempertahankan negeri mereka.
3.     Menjaga Lingkungan Hidupà Disebutkan bahwa prabu Jayabaya, memerintahkan untuk menjaga pepohonan yang besar – besar, tidak boleh memanfaatkan hasilnya secara berlebihan karena akan menimbulkan musibah
4.     Politik à Dalam babad ini, banyak sekali disebutkan mengenai perang – perang yang melibatkan berbagai kerajaan untuk melawan Kediri. Permasalahn yang timbul mulai dari memperebutkan putri cantik dari Kediri, Perebutan wilayah kekuasaan hingga konflik saudara.
5.     Sikap tunduk pada penguasa yang dicerminkan oleh Mas Ngabehi Purbacaraka yang sangat patuh pada perintah Gupermen dan seakan ingin membuktikan loyalitas tingginya pada sang Gupermen.

1 komentar:

  1. Selamat menempuh bahtera hidup baru mbak retno kiwir-kiwir, dan sukses selalu dalam berkarya

    BalasHapus

tambahkan komentar

Awal kedatangan Etnis Tionghoa di Malaysia

Malaysia yang dulunya bernama Malaya, merdeka pada tanggal 31 Agustus 1957, setelah sebelumnya dikuasai Inggris. Di Malaysia sendiri hidup...