Catatan Eliza Scidmore
dalam Jawa Tempoe Doeloe
Bagi para pelancong mancanegara,
mencatat adalah hal yang sangat utama. Mengingat dari sebuah catatan perjalanan
dapat diketahui sebuah kondisi wilayah dilihat dari aspek sosial, politik dan
budaya. Begitupula bagi Eliza Scidmore, perempuan Amerika yang suka melakukan
perjalanan antarbangsa pada abad ke-20. Dalam buku Jawa Tempoe Doeloe,
deskripsinya mengenai Jawa dilihat dari perkembangan yang ditinjau dari aspek
perhubungan cukup jelas dan rinci. Catatan ini adalah catatan perjalannya saat
mengunjungi Jawa dan melakukan perjalanan dari Batavia ke Surabaya dengan
menggunakan kereta api yang saat itu masih terbatas fungsi dan jalurnya. Dalam
catatannya, ia memuat laporan tentang para penguasa Jawa, pengikutnya, para
pekerja perkebunan dan perkebunan.
Melalui kereta, ia dapat melihat Jawa.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa jalur transportasi adalah hal yang sangat
utama untuk menelanjangi dunia dengan berbagai perspektif dan kacamata.
Catatannya berawal dari kekecewaannya terhadap Belanda saat ada turis manca
berkunjung ke Hindia Belanda atau negeri jajahan yang lainnya. Kunjungan dari
pengelana asing ini selalu saja menorehkan catatan buruk di negara asalnya
mengenai kebijakan Belanda yang sangat tidak manusiawi terhadap pribumi. Bahkan
Belanda sangat ketat terhadap para turis asing hingga laporan data tentang
turis tersebut sangatlah lengkap mulai nama, asal negara, tujuan berkelana
bahkan nama kapal serta kapten yang membawa mereka ke Hindia Belanda. Ada
kebijakan yang disebut dengan toelatings-kaart atau ‘karcis masuk’ yang harus
dimiliki oleh seorang pengelana.
Hampir dari catatan Scidmore berkisah
tentang kekejaman Belanda di Jawa yang justru lebih kejam dari bangsa Belanda
yang ada di Eropa. Menyebut bahwa para penguasa di Jawa sangat korup bahkan
gaji seorang Gubernur Jenderal dua kali lipat lebih besar dari seorang presiden
di Amerika. Ia juga mengagumi etika kerja ras Tionghoa yang berpikiran sangat
maju dalam hal pendidikan, bahkan mereka rela mengeluarkan uang berapapun untuk
menyekolahkan anak mereka. Pujian lain juga dilontarkan untuk para penduduk
Jawa yang digambarkan sebagai sosok yang berperangai halus, lemah lembut dengan
wajah cakap serta berekspresi. Jawa adalah salah satu suku selain bangsa Jepang
yang memiliki pesona dan daya tarik bagi orang asing. Kesopanan dan keluguan
mereka berubah menjadi sebuah kehinaan tatkala membungkukkan badan di hadapan
majikan Belanda mereka yang selama ini hanya memberikan luka. Meskipun
demikian, kekagumannya terhadap Belanda dalam menata Jawa tidak dapat
disembunyikan.
Berbagai stasiun baru memiliki sistem
penataan kereta yang maju dan teratur pada masanya. Sebut saja Stasiun
Weltevreden (Stasiun Gambir saat ini). Penataan gerbong sesuai dengan kelas.
Semuanya dibuat dengan perencanaan orang Amerika. Menurutnya, kereta apai ini
terlalu mewah untuk daerah dengan kondisi masyarakat yang parah. Dimana para
pribumi diperas tenaganya untuk membangun kemajuan yang hanya bisa dinikmati
oleh kalangan Eropa. Insinyur Belanda membangun dan mengelola jalan, tetapi
para staf, kekuatan penggerak sebenarnya dari jaringan itu adalah para penduduk
pribumi atau orang Cina berdarah campuran tapi berpendidikan yang mengisi
jabatan diantara golongan Eropa dan Pribumi, antara pangkat tinggi dan pangkat
rendah. Keahlian para pekerja dapat dilihat pada jalan yang melintasi
pegunungan, serta dalam membangun jalur kereta dan jembatan yang kokoh melalui
daerah rawa yang berbau busuk, dimana tidak seorangpun kulit putih sanggup
bekerja meski mereka sanggup tinggal disana. Jalur-jalur kereta ini
menghubungkan kota-kota sibuk di Jawa seperti Batavia, Bandung, Semarang dan
Surabaya.
Dengan dibukanya jalur kereta dan stasiun
pemberhentian memunculkan babak baru pada masyarakat Jawa. Ya. Penginapan,
rumah makan, tempat hiburan yang semuanya ditujukan bagi para pelancong semakin
marak di dapati di area sekitar stasiun. Pembukaan jalur kereta ini ternyata
juga menimbulkan gaya hidup baru bagi pribumi. Bahkan rumah makan dan
penginapan yang dihadirkan mengikuti pola Eropa, dimana para wisatawan banyak
berasal. Para pekerjapun ternyata juga memiliki keahlian khusus dalam hal
berkomunikasi dengan para pendatang. Dari interaksinya dengan para pekerja
inilah, Scidmore memiliki pandangan lain tentang Jawa yang selama ini hanya
dianggap sebagai daerah yang untouchable bagi orang Eropa, ternyata memiliki
kenyataan yang sebaliknya. Ternyata, dibalik adanya sebuah jalur transportasi
baru memunculkan realita sosial yang sangat kompleks di dalamnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tambahkan komentar