Aku merindukan
saat – saat itu. Saat kita masih sama – sama berjuang di padepokan ilmu elit di
Dahapura. Saat aku bisa menyapamu dengan leluasa. Saat aku bisa memandangimu
dengan dekat, meskipun hanya sebatas rambut kumalmu yang pekat.
Ya, aku merindukanmu. Kau
yang mencariku saat aku tak datang latihan volley pada Kamis sore itu. Kau yang
selalu mengkhawatirkanku saat ku terjatuh pada pertandingan futsal 3 tahun
lalu.
Ah,
siapalah aku?
Aku hanya
terlalu takut mengungkapkan yang sebenarnya. Meskipun 2 tahun tak bersua,
bagiku kau sama saja. Kau tetap menyebalkan, pergi mengemban ilmu tanpa ucapkan
perpisahan padaku. Tapi setidaknya, aku pernah merasakannya. Saat – saat terakhir
kita mengemban ilmu pada padepokan yang sama dulu. Saat gerimis manis bulan
Maret 2 tahun lalu. Saat kawan kita yang lain sedang sibuk mempersiapkan gaya
terindah mereka untuk album poto sebelum kita benar – benar pergi ke penjuru
dunia, meninggalkan Dahapura. Aku masih ingat, kau berbisik dengan hangat.
“kau
disampingku saja, bukankah disini tampak lebih indah?”, katamu sembari menggenggam
tanganku erat – erat. Ya, itu sudah 2 tahun yang lalu.
Aku merindukanmu,
merindukan tubuh kurusmu dengan rambut gondrongmu. Merindukan suara sutramu
saat kau lantunkan adzan, saat kau nyanyikan lagu merdu pembangkit iman. Aku
hanya terlalu takut kau membenciku, kau menjauhiku karena aku mencintaimu. Apakah
kau sudah memiliki gadis idaman disana?, pasti dia gadis yang beruntung, tanpa
menunggu mampu mendapakatkanmu.
Sedangkan
aku?
Jangankan
menanyakan kabarmu, menyimpan kontakmu saja aku tak mampu. Ah, setidaknya aku
pernah merasakan, hangatnya genggaman jemarimu yang panjang. Atau setidaknya
aku pernah merasakan begitu nyaman berada di dekatmu. Meskipun hanya
memandangimu dari belakang. Dan aku sadar, mendapakatkan cintamu adalah
kemustahilan terbesar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tambahkan komentar